Indonesia mempunyai pahlawan perempuan yang berasal dari Aceh. Pahlawan itu bernama Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien adalah seorang tokoh perempuan hebat Indonesia yang tak kenal menyerah dalam berjuang melawan penjajah. Cut Nyak Dien lalu dijuluki sebagai “Ratu Aceh” karena tekadnya yang kuat dalam melawan kolonial Belanda di Aceh, Indonesia. Sepanjang masa hidupnya, Cut Nyak Dien terus melakukan pertempuran dan perlawanan dengan tujuan menggapai cita-cita bangsa, yaitu terbebas dari kekuasaan penjajah.
Cut Nyak Dien lahir dari keluarga bangsawan yang taat beragama. Ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Sejarah mencatat suami Cut Nyak Dien sebagai pejuang kemerdekaan. Teuku Ibrahim kerap meninggalkan istri dan buah hatinya untuk melawan Belanda. Namun, takdir harus memisahkan Cut Nyak Dien dan suaminya. Pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim wafat ketika bertempur melawan penjajah. Bukan kepalang Cut Nyak Dien naik pitam atas peristiwa ini. Hal ini menjadi titik balik Cut Nyak Dien untuk ikut berperang melawan Belanda. Ia bersumpah untuk menghancurkan Belanda, melanjutkan perjuangan suaminya.
Pada tahun 1874-1880, di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten, wilayah VI Mukim berhasil diduduki oleh Belanda begitu juga dengan Keraton Sultan yang akhirnya harus mengakui kekuatan hebat dari kolonial Belanda. Dengan kejadian tersebut, memaksa Cut Nyak Dien dan bayinya mengungsi bersama penduduk serta rombongan lain pada 24 Desember 1875. Namun, Teuku Ibrahim tetap bertekad untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Sayangnya, ketika Teuku Ibrahim bertempur di Gle Tarum, dirinya tewas pada 29 Juni 1878. Hal itu akhirnya membuat Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah untuk menghancurkan Belanda. Selepas kematian Teuku Ibrahim, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, seorang tokoh pejuang Aceh. Bukan hanya diikatkan dengan tali pernikahan saja, tetapi keduanya bersatu untuk melawan penjajah.
Ia berbalik berperang melawan Belanda. Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Belanda berusaha menangkap Cut Nyak Dien, namun tidak berhasil. Lama kelamaan jumlah pasukannya juga berkurang. Penglihatan Cut Nyak Dien semakin rabun dan penyakit encok mulai pula menyerang.
Anak buahnya merasa kasihan melihat keadaan Cut Nyak Dien. Akhirnya, Pang Laot, seorang panglima perang dan kepercayaan Cut Nyak Dien, menghubungi pihak Belanda. Sesudah itu, pasukan Belanda datang untuk menangkapnya. Sewaktu akan ditangkap, Cut Nyak Dien mencabut rencong dan berusaha melawan. Namun tangannya dapat dipegang oleh seorang tentara Belanda, lalu ditawan, dan dibawa ke Banda Aceh.
Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Ia diasingkan bersama seorang panglima perangnya dan seorang anak berusia 15 tahun bernama Teuku Nana. Ia meninggal dunia pada 6 November 1908, dan dimakamkan di Sumedang. Di Jakarta, nama Cut Nyak Dien diabadikan sebagai nama jalan yang terletak di kawasan Menteng.
Makam Cut Nyak Dien baru ditemukan di tahun 1959 atas permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Semangat Cut Nyak Dien dalam memimpin rakyat Aceh melawan penjajah membuatnya dikenang sebagai pahlawan perang perempuan yang tak kenal menyerah. Pada 2 Mei 1964, Presiden Soekarno melalui surat Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1964 menetapkan Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional. Selain itu, rumah Cut Nyak Dien di Aceh juga dibangun kembali oleh pemerintah daerah setempat. Hingga kini, nama Cut Nyak Dien masih harum dikenang. Kisah perjuangannya patut diteladani sebagai semangat emansipasi.
Komentar