Sejarah dibalik Zakat Fitrah

Menjelang Idul Fitri, umat Islam harus memenuhi kewajiban mereka untuk membayar zakat fitrah. Kewajiban ini merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Bagaimana awal mula zakat fitrah dalam Islam?

Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, zakat belum dipraktikkan. Saat itu, Nabi SAW, para sahabat, dan seluruh kaum muhajirin (Muslim Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah) masih disibukkan dengan bagaimana menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat yang baru. Selain itu, tidak semua orang memiliki cukup uang, kecuali Utsman bin Affan, karena semua harta benda dan kekayaan mereka ditinggalkan di Makkah.

Kaum anshar memang telah menyambut Nabi dan para sahabatnya dengan bantuan dan keramahan yang luar biasa. Namun demikian, mereka tidak ingin membebani orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja keras untuk mendapatkan kehidupan yang baik. Mereka juga berpikir bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Keahlian kaum muhajirin adalah berdagang. Suatu hari, Sa’ad bin Ar-Rabi’ menawarkan hartanya kepada Abdurrahman bin Auf, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya meminta untuk ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang. Dalam waktu singkat, berkat keahliannya berdagang, ia menjadi kaya raya. Bahkan, dia sudah memiliki kafilah yang pergi dan pulang membawa barang dagangannya.

Selain Abdurrahman, banyak kaum muhajirin lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Keahlian penduduk Makkah dalam berdagang ini membuat orang-orang di luar Makkah berkata, “Dengan keahliannya berdagang itu, dia bisa mengubah pasir sahara menjadi emas”.

Tidak semua kaum muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian dari mereka bekerja di tanah kaum Anshar. Beberapa juga mengalami kesulitan dan kesusahan dalam hidup mereka. Namun, mereka tetap berusaha mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban bagi orang lain.

Kemudian Nabi SAW menyediakan bagi mereka yang mengalami kesulitan hidup sebuah shuffah (bagian beratap masjid) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffah (penghuni shuffah). Gaji para Ahlush Shuffa ini berasal dari harta kaum Muslimin, baik kaum muhajirin maupun kaum anshar yang berkecukupan. Setelah keadaan ekonomi kaum muslimin mulai membaik dan pelaksanaan ibadah dilakukan secara kontinyu, pelaksanaan zakat sesuai dengan syariatnya mulai dilaksanakan.

Pada tahun kedua Hijriah, Rasulullah SAW telah menetapkan aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa saja yang berhak menerima zakat. Sejak saat itu, zakat telah berkembang dari praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dapat dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, yaitu jumlah minimum harta yang wajib dizakati.

Di Yastrib, Madinah inilah Islam mulai menemukan kekuatannya. Zakat ditetapkan di Madinah pada abad kedua Hijriah. Zakat yang ditetapkan di Madinah adalah zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang khusus. Setelah penerapan sedekah pada tahun pertama Hijriah, penerapan zakat di Mekkah pada tahun kedua Hijriah bertepatan dengan tahun 632 Masehi. Penerapan zakat baru saja mulai membaik. Zakat tersebut dikenal dengan nama zakat fitrah.

Zakat fitrah dibebankan kepada penduduk Mekkah yang diwajibkan membayar zakat sebesar 1 sha’ kurma, tepung, keju lunak, atau setengah sha’ gandum untuk setiap Muslim termasuk budak, dan dibayarkan sebelum shalat Idul Fitri. Kini, sekitar 5 juta orang di Indonesia membayar zakat, Allah SWT menjelaskan bahwa zakat merupakan salah satu institusi orang beriman yang membedakan mereka dengan orang-orang munafik. Allah SWT memerintahkan Rasul-Nya dan semua orang yang bertugas memimpin umat setelahnya untuk memungut zakat.