Diantara pesan ketakwaan adalah mengingat dan tidak melupakan kebaikan sesama. Terlebih kebaikan orang tua dan jasa gurunda. Hal ini merupakan bagian dari syukur nikmat yang Allah perintahkan. Allah melarang melupakannya. Tanggal 25 November, disetiap tahunnya, bangsa Indonesia memperingati hari Guru Nasional. Ini dalam rangka merespon firman Allah :
وَ لَا تَنۡسَوُا الۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡؕ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرٌ
Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Baqarah: 237)
Ayat tersebut dalam konteks khusus berkenaan dengan mantan suami isteri. Seberapapun kebaikan mantan, tidak boleh dilupakan. Apalagi dengan adanya buah kasih sayang berupa anak. Kendatipun ada sedikit luka yang tergores, hal yang penting untuk dilakukan adalah mengingat al fadhla: kebaikan atau jasanya serta mensyukuri buah kebajikan itu.
Keengganan membiasakan diri mengakui jasa orang dan ketidakmauan mengapresiasi akan membentuk suatu pondasi pengingkaran terhadap Allah. Lalu menjadi manusia yang tidak pandai bersyukur sebagaimana sabda Nabi SAW:
ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺸْﻜُﺮِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻟﻢَ ْﻳَﺸْﻜُﺮِ ﺍﻟﻠﻪَ
“Barang siapa tidak berterima kasih kepada sesama, berarti tidak bersyukur kepada Allah.” (HR At Tirmidzi dan Ahmad)
Akan halnya relasi masa lalu dengan para guru, maka bekas yang tersurat justru merupakan poin-poin sedekah jariah yang lebih luas dan lebih banyak daripada yang berwujud materi. Sementara goresan luka nyaris nihil. Sebab, kalau ada sanksi yang diberikan kepada anak didik, spirit dan sifatnya adalah bentuk kasih sayang. Buahnya akan dipetik dimasa mendatang secara berkesinambungan. Al-Qur’an mengungkapkan,
اِنَّا نَحۡنُ نُحۡىِ الۡمَوۡتٰى وَنَكۡتُبُ مَا قَدَّمُوۡا وَاٰثَارَهُمۡؕؔ وَكُلَّ شَىۡءٍ اَحۡصَيۡنٰهُ فِىۡۤ اِمَامٍ مُّبِيۡ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati, dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan berikut bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuz).” (QS. Yassin : 12).
Pengertian “atsar” (bekas) yang baik terkait ilmu guru disebut pula dengan khairan (kebaikan secara umum), dan hudan yakni arahan ke jalan yang benar.
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa menyeru kepada sebuah petunjuk maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang-orang yang mengikutinya, hal tersebut tidak mengurangi akan pahala-pahala orang yang mengikuti sedikitpun. (HR. Muslim).
Terkait dengan jasa guru, Sayyidina Ali karamullahu wajhah pernah menyebutkan deifisi guru yang artinya : “Guru ialah sosok yang mengajarimu, meski hanya satu huruf.”
Alhamdulillah, budaya kita tidak mengenal bekas guru meski ada bekas murid. Tidak sedikit, bahkan murid yang kemudian menjadi guru bahkan ada yang menjadi guru besar. Tentu atsar atau sang guru pertama telah sangat memanjang dan begitu terus hingga akhir zaman.
Modalnya adalah mengakui keberadaan para guru dalam sejarah hidup kita. Lalu menginfokan dan menceritakan kepada anak cucu kita. Disamping kita juga berterima kasih dengan mendoakan limpahan maghfirah dan rahmat dari Rabbil ‘alamin untuk para guru sang murabbi. Serta untuk lembaga asuhan dengan anak keturunannya, baik anak didik maupun santri pelanjut perjuangan.
Oleh : M Rizkhon Al-qorni
Komentar