Hak berarti milik, harta dan sesuatu yang ada serta pasti, seperti tercantum dalam surah Yasin ayat 7:
“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, tetapi mereka tidak beriman.” Q.S Yasin :7.
لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلٰٓى اَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Para fukaha berbeda pendapat mengenai pengertian hak. Ada ulama yang mengartikan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi, sementara dipihak lain ada yang mengaiatkannya dengan hal-hal yang bersifat non-materi, seperti istilah hak Allah SWT dan hak hamba. Adapula yang mengatakan hak sebagai hak atas harta benda dan segala sesuatu yang lahir dari suatu akad, seperti jual beli. Pada akad jual-beli, hukumnya adalah memindahkan kepemilikan benda yang diperjual-belikan, sedangkan hak-haknya adalah penyerahan barang dan harga.
Menurut fungsinya, hak merupakan perantara untuk mencapai kemaslahatan tertentu. Hak itu sendiri bukanlah maslahat, tetapi merupakan jalan untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian suatu hak tidak boleh dipergunakan untuk merugikan orang lain, karena merugikan orang lain bukanlah suatu kemaslahatan. Dalam hal ini para fukaha membuat kaidah yang berbunyi la darara wa la dirar, dalam menggunakan hak, orang lain tidak boleh dirugikan dan tidak boleh pula berhak dirugikan oleh orang lain. Selain itu hak terseut tidak dibenarkan dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak diakui syarak. Misalnya, berdasarkan hak yang ia punyai maka seseorang sampai mengharamkan riba atau menggugurkan zakat dengan cara melakukan hibah sebelum sampai haul (masa satu tahun)-nya.
Hak-hak pribadi tersebut cukup banyak jumlah dan bentuknya, baik yang bersifat materi maupun bersifat maknawi. Penentuan kekhususan hak tersebut diperoleh manusia melalui ketentuan syarak. Oleh karena itu, hak-hak tersebut tidak boleh digugurkan orang lain, kecuali dengan cara yang dibenarkan syarak pula. Sebagai contoh, jika seseorang punya hak atas sebidang tanah berdasarkan transaksi yang dilakukan dengan orang lain secara sah, maka hak miliknya terhadap tanah tersebut tidak dapat digugurkan orang lain, kecuali dengan cara yang dibenarkan oleh syarak juga. Missal, tanah itu ia jual, wakafkan atau diambil oleh pemerintah karena dibutuhkan.
Dalam hal yang sudah dibahas diatas, ini berguna untuk kepentingan umum. Pemambilan hak atas milik seseorang oleh pemerintah dapat dibenarkan oleh syarak dalam bentuk dan cara yang wajar juga demi kepentingan masyarakat umum. Hal ini tentunya bias dilakukan dengan ganti rugi dari pihak pemerintah kepada pemilik tanah secara wajar.
Contoh lain adalah hak warisan. Jika seseorang membunuh ayah, maka anaknya secara hukum mendapatkan harta warisan dari harta yang ditinggalkan oleh ayahnya tersebut. Hak waris ini ditetapkan berdasarkan syarak. Tetapi karena kematian ayah tersebut oleh anaknya sendiri, maka syarak menggugurkan hak warisan anak tersebut, karena dalam salah satu hadis Nabi SAW dikatakan : “Orang yang membunuh tidak berhak mendapatkan warisan.” (HR. Abu Dawud)
Sumber : Ensiklopedi Islam, Basri M. Jaelani
Komentar